A footnote on human resilience: economic and climate change

10 min readJan 3, 2021

Catatan ‘kecil’ ini kutulis berdasarkan imajinasiku, terkait dengan bagaimana keadaan perubahan iklim nanti mengubah kegiatan ekonomi kita secara total. Tulisan ini tentu tidak berdasarkan pijakan yang benar-benar ilmiah. Tidak ada jurnal yang akan kutampilkan disini. Mungkin ada kilasan-kilasan, namun tentu: ini hanya berdasar imajinasiku.

perubahan iklim, tentu merupakan isu yang perlu diperhatikan. Ia merupakan penentu bagaimana kehidupan manusia, akan berakhir. Beberapa pengamat dan ilmuwan mengatakan bahwa jika kenaikan suhu melebih 1.5 derajat, maka kita akan mencapai titik dimana tidak akan kembali menjadi semula. Artinya, perubahan iklim menjadi tidak terelakkan, ekonomi tidak dapat bergerak, bumi terlalu panas, dan manusia mulai punah.

sumber: dari sini

seingatku seperti itu.

beberapa ilmuwan lain menyebutkan, bahwa akan ada masa ketika perubahan iklim membuat kegiatan ekonomi tidak dapat bergerak lagi. Sektor pertanian menjadi tidak dapat menghasilkan pangan, karena suhu terlalu tinggi sehingga padi atau tanaman lain tidak dapat tumbuh. Akibatnya kelaparan mengguncang manusia. Manusia satu dengan lainnya mulai menghunuskan pedang demi sesuap nasi.

Peradaban pun, runtuh.

Lain lagi dengan sektor energi. Semisal minyak habis, fosil telah menguap mengisi ruang udara. Tanpa mitigasi yang cukup, manusia menjadi rapuh menghadapi defisit oksigen. Selain itu, pendapatan negara dari sektor migas (yang sangat besar) menjadi hilang. Negara perlu mencari pendapatan tambahan, biaya untuk membiayai pembagunan menguap. Sebagai ganti, manusia mendapatkan eksternalitas negatif.

Perubahan iklim, jika mencapai titik tersebut, akan mengakibatkan ekonomi berhenti. Tidak ada kesejahteraan yang tercipta.

Tapi, mengorbankan ekonomi demi memitigasi ini pun sangat mahal. Berapa banyak manusia yang bergantung pada energi fosil demi kehidupannya? para mekanik, para insinyur, para offshore. Tidak sedikit.

Lantas kita harus apa? Ada trade-off disini. Meski sebenarnya, disinilah ekonomi harus menjawab. Karena ilmu ekonomi ini berbicara bagaimana kita harus memilih, diantara keterbatasan sumber daya, dengan permintaan yang tidak terbatas.

Yang mengganjal bagiku disini adalah: can we killing two birds with one stone? selagi menyelamatkan manusia, kegiatan ekonomi tetap tidak perlu dikorbankan. Atau meraup untung dari usaha menyelamatkan manusia.

Sebenarnya itu mustahil sih :) tapi yang mungkin bagiku mengganjal adalah, mungkin kita bisa membuka peluang ekonomi, dalam rangka menyelamatkan umat manusia. Jadi, kita mencari solusi agar umat manusia bertahan hidup, dengan membuka peluang ekonomi/keuntungan disitu.

Ohya, ini sudah ada contohnya: Elon Musk dengan Teslanya. Kemudian ia memanfaatkan perubahan pola konsumsi masyarakat: ketika masyarakat mulai sadar bahaya perubahan iklim, disitu mulai ramai-ramai mengganti pola konsumsinya. Ke energi terbarukan, semisal. Mulai pakai kendaraan listrik, panel surya, dan sebagainya.

Peluang ekonomi disini bagiku tidak main-main. Jika kita sudah mencapai point of no return alias perubahan iklim menjadi tidak terelakkan, permintaan/demand terkait ketahanan hidup manusia menjadi meningkat. Manusia menjadi berlomba-lomba untuk mencari cara agar bertahan hidup.

Mungkin disini aku agak kapitalistik, tapi bukankah itu adalah sebuah peluang ekonomi? Tentu, harus ada yang menampung permintaan tersebut. Permintaan/demand terhadap ketahanan manusia, menjadi sebuah barang primer yang bersifat inelastis, atau bahkan inelastis sempurna. Ramai-ramai manusia mencari hal itu demi bertahan hidup.

Dan tentu saja, mereka yang memiliki kapabilitas lebih dalam teknologi, dapat memenuhi kebutuhan itu. Pada akhirnya, menurutku mereka yang concern lebih awal terhadap hal ini, kemudian bergerak lebih awal untuk menyelesaikan masalah ini,dapat menampung kebutuhan tak terbatas yang umat manusia miliki.

Sehingga, Pertama mereka dapat bertahan lebih awal terhadap perubahan iklim (lebih abadi?), Kedua: mereka dapat menampung kebutuhan umat manusia, Ketiga: menjadi milyader? dengan meraup untung dari kebutuhan manusia yang bersifat inelastis, mungkin?

entahlah. Yang pasti, Pak Gita Wirjawan pernah mengatakan hal ini:

Sekian, tulisan ini dibuat di tengah masa ujian, saat pikiran justru sangat sulit untuk fokus, sehingga tulsian ini dibuat agar gak terlalu kepikiranlah gue ama hal-hal kayak gini:)

Purbalingga, 3 Januari 2021

A footnote on human resilience: economic and climate change

Written by rasumasowmondol